Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Selama bertahun-tahun, perusahaan mengelola rantai pasok global dengan asumsi bahwa efisiensi biaya adalah kunci daya saing. Namun, lima tahun terakhir membuktikan bahwa fokus pada biaya saja tidak cukup. Kini, perusahaan dituntut membangun rantai pasok yang tahan banting sekaligus efisien secara finansial.

Dari “Cost is King” ke “Cost of Resilience”

Dulu, strategi umum adalah memusatkan produksi di negara berbiaya rendah untuk mengejar skala besar dan efisiensi. Pandemi COVID-19 membuka kelemahan pola ini: ketika pabrik tutup, arus barang terhenti, harga melonjak, dan pangsa pasar hilang.

Setelah itu, banyak perusahaan beralih ke prinsip “resilience at all costs” dengan memindahkan sebagian produksi lebih dekat ke pasar, menambah persediaan, dan membuat rantai pasok lebih menyebar. Namun, cara ini terbukti mahal dan tidak berkelanjutan.

Kini, muncul pendekatan baru: “cost of resilience”, yaitu menyeimbangkan efisiensi biaya dengan kemampuan beradaptasi menghadapi disrupsi tanpa menggerus margin atau pangsa pasar.

Empat Megatren yang Membentuk Rantai Pasok Baru

Geopolitik dan Economic Statecraft (Diplomasi Internasional melalui kekuatan ekonomi) – Persaingan antarnegara memengaruhi arus barang dan investasi.

Risiko iklim – Bencana alam, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut menambah kerentanan.

Keterbatasan tenaga kerja manufaktur – Persaingan mendapatkan tenaga kerja terampil semakin ketat.

Adopsi robotika canggih – Otomasi membantu mengatasi biaya tenaga kerja dan risiko disrupsi.

Strategi Perusahaan

Untuk menghadapi tantangan ini, banyak perusahaan tidak lagi mengandalkan satu rantai pasok global, melainkan:

  • Membangun rantai pasok regional atau lokal agar lebih dekat ke pasar. 
  • Diversifikasi pemasok dengan sumber ganda (dual sourcing) dan cadangan tambahan. 
  • Menggunakan supply chain broker yang memiliki jaringan global fleksibel. 
  • Berbagi kapasitas produksi melalui kontrak manufaktur atau joint venture untuk mengurangi biaya dan risiko. 

Langkah yang Perlu Dilakukan Pemimpin Bisnis

Agar rantai pasok lebih tangguh sekaligus efisien, pemimpin perusahaan perlu:

  • Meningkatkan transparansi ujung-ke-ujung pada rantai pasok. 
  • Memperkuat manajemen risiko geopolitik, iklim, tenaga kerja, dan teknologi. 
  • Memasukkan otomasi dalam desain jaringan produksi. 
  • Mengintegrasikan risiko iklim dalam perencanaan rantai pasok. 
  • Menjadikan tenaga kerja sebagai faktor utama dalam keputusan lokasi produksi. 
  • Mengukur total procurement value, bukan hanya biaya, tapi juga ketahanan dan keberlanjutan.

Era perdagangan bebas yang relatif lancar sudah berubah menjadi era ketidakpastian. Perusahaan yang mampu menyeimbangkan biaya dengan ketahanan akan lebih siap melindungi margin dan merebut peluang pasar di tengah perubahan global yang cepat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh BCG, dengan judul Balancing Cost and Resilience: The New Supply Chain Challenge. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.