Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam 25 tahun terakhir, inovasi teknologi telah mengubah cara pandang manajer risiko terhadap industri keuangan dan metode evaluasi mereka dalam memproyeksikan masa depan. Menurut Aaron Brown, transformasi ini berakar pada pola pikir para insinyur yang lebih mengutamakan logika teknologi daripada prinsip tradisional bisnis atau regulasi.

Perubahan ini sebagian besar didorong oleh insinyur yang berinovasi tanpa terikat oleh aturan tradisional. Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1999, The New New Thing, Michael Lewis memprediksi bahwa insinyur akan mengambil alih peran-peran strategis dari pemimpin bisnis tradisional dan mengedepankan pendekatan inovatif. Perkembangan ini menuntut manajer risiko untuk menyesuaikan diri dan tidak hanya mengandalkan pendekatan konvensional dalam menghadapi risiko teknologi.

Lewis bukan yang pertama memprediksi peran besar insinyur. Pada 1919, sosiolog Thorstein Veblen berpendapat bahwa para insinyur akan memainkan peran sentral dalam perkembangan industri. Ia mencatat bahwa selama Revolusi Industri pertama, insinyur sering memimpin perusahaan dan mengawasi produksi. Namun, di masa Revolusi Industri kedua, inovasi cenderung terkendali oleh pemimpin bisnis dan finansial yang seringkali lebih konservatif. Kendati demikian, pandangan Veblen terbukti benar pada akhir abad ke-20 ketika insinyur dan inovator teknologi seperti Jim Clark dan perusahaan seperti Intel mulai menggerakkan perubahan besar.

Perubahan signifikan terjadi pada akhir 1960-an, dengan didirikannya Intel oleh para insinyur. Sejak saat itu, teknologi mulai tumbuh tanpa keterlibatan signifikan dari manajer bisnis tradisional. Di era 1990-an, kemunculan internet menandai puncak dari tren ini, meskipun ada tantangan dari perusahaan raksasa seperti Microsoft yang cenderung menahan laju disrupsi demi kestabilan bisnis.

Di tengah ketidakpastian yang dihadirkan oleh teknologi, sistem keuangan dan masyarakat terbukti mampu bertahan menghadapi inovasi para insinyur. Untuk mengikuti arus perubahan ini, manajer risiko dituntut memahami dasar-dasar teknologi, bahkan jika mereka tidak terlibat langsung dalam pengembangan produk baru. Organisasi risiko harus berusaha mengadopsi keberagaman latar belakang teknologi di dalam tim mereka agar lebih siap menghadapi ancaman dari berbagai bidang inovasi yang tidak selalu bisa diprediksi.

Dunia teknologi telah membuktikan dirinya sebagai sektor yang menguntungkan bagi investor yang mau mengambil risiko. Perusahaan besar seperti Meta, Alphabet, dan Tesla menunjukkan keseimbangan antara inovasi teknologi dengan stabilitas korporat. Ke depannya, manajer risiko harus memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang teknologi untuk mengevaluasi skenario masa depan dan membangun ketahanan organisasi dalam menghadapi disrupsi.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Garp, dengan judul Reflections on the Past 25 Years: What Risk Managers Have Learned from the Technology Revolution. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.