Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Sebanyak 99% perusahaan S&P 500[1] melaporkan informasi terkait lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG). Hampir semuanya mengacu pada setidaknya satu kerangka kerja atau standar pelaporan ESG.

Perusahaan-perusahaan dengan kinerja ESG yang tinggi memiliki margin operasi 4,7x lipat lebih tinggi daripada perusahaan dengan kinerja ESG sedang. Namun, meskipun tanda kemajuan telah terlihat, banyak perusahaan yang kesulitan dalam mengukur kemajuan tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena perusahaan lebih cepat merespons motivasi yang bersifat hukuman (yang disebut juga sebagai stick atau “tongkat”) dibandingkan penghargaan (yang disebut juga sebagai carrot atau “wortel”).

Data yang Tepat, Keputusan yang Tepat

Secara umum, perusahaan yang merespons “wortel”, seperti insentif, penghematan biaya, dan loyalitas pelanggan cenderung memiliki intervensi yang tertanam lebih dalam di seluruh organisasi. Mereka akan menggunakan data untuk mendorong keputusan bisnis dengan keberlanjutan sebagai inti strategi.

Strategi ESG dan keberlanjutan yang kuat dapat menghasilkan kinerja bisnis yang lebih baik dalam beberapa cara sebagai berikut.

  1. Optimalisasi biaya dengan mengurangi konsumsi energi, pengelolaan limbah dan air, serta meningkatkan efisiensi operasional
  2. Pemodelan skenario, pengelolaan risiko kritis, dan tindakan yang memungkinkan kelangsungan bisnis di seluruh rantai pasokan
  3. Transformasi berbasis data
  4. Persiapan ulang untuk data dan analitik

Aliran data, visibilitas data, dan kekuatan analitik adalah kunci dari transformasi berbasis data ini. Kemampuan untuk mengukur jejak karbon di seluruh proses dan produk serta transparansi juga menjadi komponen penting. Dengan mengumpulkan dan menganalisis data tentang berbagai aspek operasi perusahaan, pemimpin dapat mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.

Perubahan dan Penciptaan Ulang

Manusia adalah inti dari semua perubahan. Dengan menanamkan keberlanjutan ke dalam setiap peran, perusahaan akan memastikan bahwa hal tersebut terkait dengan agenda sumber daya manusia (SDM) dan menghilangkan silo. Perusahaan dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan para pemangku kepentingan, termasuk pelanggan, karyawan, dan investor.

Menanamkan keberlanjutan dan inti digital juga menjadi dasar bagi total enterprise reinvention, yaitu pergeseran paradigma dari perusahaan yang hanya berfokus pada pelaporan menjadi perusahaan yang berkelanjutan dan digerakkan oleh kinerja.

Untuk menyeimbangkan pendekatan “wortel” dan “tongkat” dalam pengukuran ESG, berikut adalah tindakan yang berbeda dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang:

  1. Jangka pendek (6—12 bulan)
  • Mendefinisikan arti keberlanjutan bagi perusahaan dengan fokus pada persyaratan peraturan, materialitas, dan manajemen risiko
  • Menetapkan model data yang kuat untuk metrik keberlanjutan
  • Membawa lensa risiko dan peluang ESG ke dalam perencanaan strategis
  1. Jangka menengah (1—2 tahun)
  • Otomatisasi alur kerja ESG secara menyeluruh
  • Mengintegrasikan keberlanjutan dalam pengambilan keputusan Perusahaan
  1. Jangka panjang (3-5 tahun)
  • Mengulangi strategi dan narasi seputar nilai
  • Berinovasi pada model bisnis
  • Bertahan di tempat

Pada kenyataannya, perusahaan harus bersikap seimbang antara menanggapi peraturan yang keras dan memenuhi permintaan pemangku kepentingan. Dengan demikian, perusahaan dapat menikmati “wortel” terbaik: mengetahui bahwa mereka melakukan hal yang benar bagi planet dan keuntungan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Accenture, dengan judul “Measuring Up: Achieving Resilience Through ESG” pada 19 September 2023. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.