Ditulis oleh: Charles R. Vorst, BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP – Dewan Pengurus IRMAPA.
Sejak awal tahun 2018, kerap terjadi kecelakaan pada proyek pembangunan infrastruktur. Setidaknya ada 5 kejadian kecelakaan di tahun 2018 ini. Konstruksi beton proyek LRT di Kayu Putih runtuh, balok girder proyek tol Depok-Antasari ambruk, crane jatuh pada proyek rel ganda Jatinegara, longsor pada dinding underpass Bandara Soetta, serta tiang proyek tol Becakayu yang ambruk (sumber: “Tol Becakayu Menambah Deretan Kecelakaan Infrastruktur” – 21 Februari 2018, http://news.liputan6.com, diakses tanggal 20 Maret 2018).
Nikkei Assian Review dalam artikelnya yang bertajuk “Accidents mar Indonesia’s Fast-and-Furious Infrastructure Program” menyebutkan bahwa jumlah kecelakaan pada proyek pembangunan infrastruktur hingga artikel tersebut diterbitkan pada tanggal 18 Februari 2018 tercatat sebanyak 14 kejadian (sumber: https://asia.nikkei.com, diakses tanggal 20 Maret 2018).
Sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategis dalam menyikapi kecelakaan-kecelakaan tersebut, seperti moratorium sementara dan mengevaluasi seluruh pelaksanaan proyek infrastruktur layang (elevated) dan membentuk Komite Keselamatan Konstruksi dan Komisi Keselamatan Bangunan Gedung (KKBG). Namun, beberapa langkah ini belum cukup efektif. Kita kembali mendengar berita sebuah besi proyek rusunawa Pasar Rumput terjatuh pada hari Minggu, 18 Maret 2018 lalu. Besi ini menimpa 1 orang korban hingga meninggal dunia.
Bila kita menganalisis peristiwa kecelakaan belakangan ini dari perspektif ilmu manajemen risiko, maka fenomena ini sudah masuk dalam kategori masalah, bila tidak dikatakan krisis. Rangkaian kecelakaan yang terjadi tidak hanya menimbulkan korban luka-luka hingga korban jiwa. Juga kerugian material masyarakat di sekitar di lokasi kecelakan, dampak pada cost overrun, penundaan penyelesaian proyek, kinerja perusahaan pelaksana proyek yang menurun, hingga knock-on effect pada penurunan competitiveness index negara Indonesia.
Mengamati berbagai kecelakaan di atas, penulis teringat pengalaman ketika berkunjung ke Infrastucture and Projects Authority (IPA) di London, UK, dalam sebuah program benchmarking bersama Center for Risk Management Studies (CRMS) Indonesia beberapa tahun silam. IPA bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri Inggris atas keberhasilan seluruh penyelenggaraan proyek pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek strategis pemerintah Inggris. Juga bertanggung jawab kepada HM Treasury atas dana yang dialokasikan pemerintah pada proyek-proyek tersebut. Total nilai proyek yang diawasi dan dievaluasi mencapai lebih dari £ 400 milyar. Portofolio proyek mulai dari pembangunan jaringan kereta api untuk pemerataan pertumbuhan Inggris bagian tengah dan utara, hingga pada pembangunan kapal selam dan kapal induk militer.
Yang menarik, IPA menerapkan risk-based project monitoring dengan melakukan delivery confidence assessment (DCA) secara reguler dengan mengases, memantau, dan menindaklanjuti risiko-risiko yang dapat mengancam kelancaran dan keberhasilan setiap proyek. Melalui DCA, IPA mengategorikan seluruh proyek kedalam 5 kategori mulai dari kategori “aman” hingga berisiko tinggi”. Kategori “aman” adalah untuk proyek-proyek yang diyakini dapat dikerjakan sesuai jadwal sampai berhasil terselesaikan pada waktunya. Kategori “berisiko tinggi” adalah untuk proyek-proyek dengan risiko yang dapat menghambat, bahkan menggagalkan, penyelesaian proyek. IPA juga membuat kategori atau tindak lanjut yang akan dilakukannya yaitu “critical (do now)” untuk tindak lanjut segera atas risiko yang harus segera dimitigasi, “essential” untuk tindak lanjut atas risiko yang dapat diselaraskan dalam skedul pengerjaan proyek, serta “recommended” untuk usulan tindak lanjut yang diajukan kepada masing-masing manajemen proyek untuk meningkatkan kinerjanya.
Mengacu pada pembelajaran ke IPA dan mencermati kejadian kecelakaan yang terjadi pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, beberapa hal penting antara lain:
- Program K3 (Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja) yang solid pada proyek pembangunan infrastruktur merupakan hal mutlak.Program K3 ini harus menjadi keutamaan manajemen proyek setiap saat dalam pelaksanaan proyek di manapun lokasinya. Apa yang pernah disampaikan oleh Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero), Tbk., M Choliq, yang mengakui bahwa peningkatan nilai produksi atau nilai proyek yang diperoleh Waskita Karya menyebabkan perhatian terhadap aspek K3 terabaikan (dikutip dari: “Demi Raup Proyek Besar, Dirut Waskita Akui K3 Terabaikan” – 28 Februari 2018, https://properti.kompas.com, diakses tanggal 20 Maret 2018), tidak boleh terjadi lagi dalam proyek pembangunan manapun.
- Praktik project dan enterprise risk management harus dijalankan secara menyeluruh oleh pihak pelaksana proyek pembangunan infrastruktur.Para perusahaan kontraktor, maupun subkontraktor, dan pemenang tender pembangunan infrastruktur hendaknya memperlengkapi aktivitas bisnis dan operasionalnya dengan sistem manajemen risiko yang efektif, bukan hanya di tingkatan proyek melainkan juga di tingkatan perusahaan. Adapun penerapan manajemen risiko ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi risiko-risiko pengerjaan proyek di masing-masing individu proyek, maupun risiko-risiko yang harus ditangani oleh entitas perusahaan, seperti kesiapan kapasitas internal dalam meraih peluang bisnis dari pembangunan infrastruktur di Indonesia.
- Pendekatan risk-based project monitoring (RPM) sebagai pilihan yang dapat dipertimbangkan oleh Kementerian PUPR untuk mendukung pengawasan terhadap kinerja proyek infrastruktur.Seperti halnya yang dilakukan oleh IPA, sistem RPM dapat diterapkan oleh Kementerian PUPR, maupun komite/komisi yang dibentuknya, dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek infrastruktur, serta menentukan tindakan proaktif atas isu-isu risiko yang mengancam masing-masing proyek yang ada. Selain itu, keberadaan otoritas seperti IPA di Indonesia dapat juga menjadi pertimbangan dalam memastikan keberhasilan 245 Proyek dan 2 Program Strategis Nasional yang telah dicanangkan pemerintah.