Penulis: Kun Wahyu Wardana, CRGP.
Kepala Divisi Manajemen Risiko
PT Jasa Raharja (Persero)
Dalam Era Industry 4.0 yang menjadi kepastian adalah ketidakpastian. Pemanfaatan teknologi digital secara masive dan fundamental menjadi sentra dari industry 4.0. Dari Internet of Things (IOT), Artificial Intelligence hingga Big Data Analytics.
Peran dari manajemen risiko menjadi sangat menentukan untuk menjinakkan ketidakpastian itu. Tidak hanya meningkatkan kepastian perusahaan mencapai sasaran bisnisnya tetapi bagaimana mengubah ancaman menjadi peluang untuk pengembangan bisnis. Bisnis harus memahami manfaat merangkul Industri 4.0 agar tetap kompetitif dan memanfaatkan peluang berlimpah yang akan ditawarkan.
Tom Goodwin dalam bukunya Digital Darwinism (2018)mendeskripsikan dengan menarik kondisi perusahaan di tengah ketidakpastian semacam itu. Ia mengatakan bahwa keterampilan yang dibutuhkan semua perusahaan di masa depan akan ada dalam ketidakpastian, namun demikian harus mengantisipasi kemungkinan yang masuk akal tetapi tidak akan dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan ketakutan.
Sangat dipahami mengapa Tom Goodwin melihat keraguan dan ketakutan sebagai root causes dari bertahan atau bertumbangnya perusahaan besar sekalipun. Era Industry 4.0 menjadi era yang disruptif dengan memberikan dampak yang sangat fundamental terhadap peta bisnis dan life cycle perusahaan. Perusahaan startup menjadi sangat berpeluang menjungkalkan dominasi perusahaan incumbent. Tidak peduli apakah perusahaan tersebut perusahaan konvensional atau berplatform digital. Itulah yang menjadi keniscayaan. Perusahaan sekelas Nokia pun tidak luput tersapu disrupsi. Bahkan CEO Nokia Stepen Elop dalam sambutan terakhirnya setelah diakusisi Microsoft sembari berderai air mata mengatakan “we didn’t do anything wrong. But somehow, we lost”. Hingga berakhirnya perjalanan panjang perusahaan raksasa tersebut, ternyata seorang CEO pun tidak menyadari telah melakukan kesalahan.
Ada semacam paradox yang terjadi. Jika start up saja mampu mengkapitalisasi teknologi seharusnya perusahaan incumbent dengan dukungan dana yang lebih besar seharusnya lebih mampu melakukan itu. Nyatanya, tidak selalu demikian. Sebab masalahnya bukan terletak pada pendanaan dan teknologi semata. Tetapi berakar dari keraguan dan ketakutan sebagaimana dinyatakan Tom Goodwin. Ketakutan perusahaan untuk bertransformasi dari model bisnis yang sebelumnya terbukti manjur seperti yang dialami Nokia tatkala merajai pasar gadget menjadi model bisnis dengan adopsi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Dari perspektif manajemen risiko, dengan bertumbangannya perusahaan incumbent, menjadi menarik untuk mencermati seberapa efektif manajamen risiko bekerja dalam perusahaan. Bukankah manajemen risiko sepatutnya dapat memitigasi ketidakpastian dalam mencapai tujuan perusahaan. Manajemen risiko seharusnya dapat mengidentifikasi adanya disparitas antara strategi yang dikembangkan suatu perusahaan dengan risiko yang dihadapinya. Inilah ranah risiko stratejik yang merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya pengambilan keputusan dan atau penerapan strategi perusahaan yang tidak tepat atau kegagalan perusahaan dalam merespon perubahan-perubahan kondisi eksternal.
Kenapa manajemen risiko gagal mengidentifikasi dan memitigasi perubahan eksternal atau perkembangan teknologi digital yang terus bermunculan dengan cepat? Ada beberapa sebab utama sehingga manajemen risiko tidak bekerja dengan optimal.
Pertama, implementasi manajemen risiko masih bersifat silo. Pemaknaannya diterjemahkan masih sebatas dalam pendekatan struktural dengan membentuk Satuan Unit Kerja Manajemen Risiko. Namun secara fungsi, belum terintegrasi dengan fungsi-fungsi lainnya dalam organisasi dalam mencapai sasaran perusahaan.
Kedua, risk appetite (selera risiko) dari manajemen masih sangat dipengaruhi pada paradigma yang memandang risiko identik sebagai ancaman (negatif) bukan peluang (positif). Sehingga perlakuan risikonya selalu mengarah pada menghindari atau meminimalisasi risiko. Tidak mengeksplore secara optimal dibalik risiko tersebut menjadi peluang pengembangan baik dalam proses maupun model bisnis. Sebagai contoh, bagaimana Nokia memandang Android sebagai ancaman bukan sebagai peluang partnership untuk berkolaborasi. Kegagalan menetapkan konteks eksternal menjadi faktor yang juga acap terabaikan. Hal ini berdampak pada ketidakcermatan dalam mengidentifikasi risiko. Padahal tahap ini merupakan dasar yang menentukan kekokohan manajemen risiko.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh The McKinsey Global Institute yang dibukukan dengan judul No Ordinary Disruption (2015) bahwa dari 4 (empat) kekuatan besar yang saling bersinggungan dan mengubah ekonomi global salah satunya yaitu: percepatan dampak teknologi terhadap kekuatan alami persaingan pasar. Timbul keengganan dalam mengadopsi trend tersebut menjadi sebuah konteks. Karena perusahaan tersebut terjebak dalam istilah Govindarajanya itu complacency trap. Yaitu merasa nyaman dan percaya diri dengan kesuksesan yang digenggam saat ini sehingga abai mendeteksi dan mengadaptasi perubahan besar yang tengah terjadi. Perusahaan cenderung bersikap risk averse (menghindari risiko) dan jumud dalam bertransfomasi. Dampaknya, perusahaan kehilangan daya saing dan budaya inovasi yang memenuhi ekspektasi dan menjaga kepercayaan pasar. Oleh karena itu, menggunakan pendekatan analisis SWOT akan membantu perusahaan dalam menetapkan konteks dengan cermat.
Pada akhirnya, risk leadership menjadi kunci yang sangat menentukan dalam merajut semua elemen tersebut. Risk leadership diharapkan akan mampu menavigasi perusahaan secara efektif terhadap perubahan landskap risiko dalam dunia yang saling terhubung. Risk leadership dibutuhkan untuk mampu mengubah ancaman menjadi peluang atau kelemahan menjadi keunggulan. Dengan kata lain, manajemen risiko dapat bekerja secara optimal untuk menciptakan dan memproteksi nilai perusahaan. Dan inti dari risk leadership itu sesungguhnya adalah tone at the top, komitmen yang kuat dari pimpinan untuk menerapkan manajemen risiko secara konsisten.