Penulis: Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si, QCRO
Ketua Departemen Agribisnis FEM IPB
Faktor Budaya dalam Manajemen Risiko
Nilai (value) suatu organisasi merupakan hal yang sangat fundamental. Oleh karena itu, setiap organisasi harus dan penting melakukan upaya untuk menciptakan dan melindungi nilai organisasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan organisasi untuk menciptakan dan mengelola nilai organisasi yaitu melalui manajemen risiko. Hal ini juga telah tertuang pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 8615:2018 ISO 31000:2018 sebagai pedoman manajemen risiko. Manajemen risiko pada suatu organisasi sangat penting dilakukan karena organisasi dimungkinkan akan mendapat banyak pengaruh baik dari pihak internal dan atau pihak eksternal. Adanya pengaruh tersebut sangat mungkin akan menimbulkan ketidakpastian. Manajemen risiko juga penting dilakukan karena dapat meningkatkan kinerja dan mendorong inovasi guna mencapai sasaran organisasi. Agar pengelolaan risiko dilakukan secara efektif dan efisien perlu dilandasi prinsip-prinsip yang dapat menjadi fondasi manajemen risiko, baik pada tahap penyusunan kerangka kerja maupun tahap proses manajemen risiko.
Salah satu prinsip dari delapan prinsip manajemen risiko yaitu faktor manusia dan budaya. Perilaku dan budaya manusia secara signifikan memengaruhi semua aspek manajemen risiko pada semua tingkat dan tahap. Manusia dan budaya dua faktor yang saling terkait dan sama-sama penting. Tulisan ini akan lebih membahas tentang faktor budaya dalam manajemen risiko, khususnya dalam menciptakan dan melindungi nilai organisasi. Mengapa faktor budaya penting dan menjadi salah satu prinsip dalam manajemen risiko? Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman tentang apa yang dimaksud budaya atau pengertian budaya.
Pengertian Budaya
Budaya berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan akal dan budi manusia. Demikian halnya, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), budaya adalah pikiran atau akal budi. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka budaya dapat diartikan sebagai sikap atau cara hidup seseorang atau sekelompok orang dalam suatu komunitas atau organisasi. Budaya dapat berkembang dan diwariskan secara turun temurun bahkan kemudian dapat mendominasi. Budaya juga sangat berkaitan dengan bahasa atau cara berkomunikasi, atau kebiasaan di suatu daerah atau adat istiadat. Dalam suatu komunitas atau organisasi, bisa muncul beragam budaya baik budaya yang positif maupun budaya yang bersifat negatif. Beberapa contoh budaya yang muncul dalam suatu organisasi, misalnya:
- budaya atau sikap malu jika berbuat yang tidak terpuji atau melanggar aturan
- budaya atau sikap pegawai yang tidak berani menyampaikan keadaan yang sebenarnya
- budaya atau sikap pegawai atau bawahan yang menganut asal bapak senang (ABS)
- budaya atau sikap melakukan kolusi dan nepotisme
- budaya atau sikap kritis dalam pelaksanaan tugas
- budaya atau sikap santun, disiplin dan bertanggung jawab
- budaya atau sikap jujur, bekerja keras, tekun dan kreatif
Budaya atau sikap yang muncul dalam suatu komunitas atau organisasi dapat terbentuk dari banyak unsur dan bersifat kompleks, antara lain unsur sistem agama, adat istiadat, sistem politik, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Budaya dan Manajemen Risiko
Manajemen risiko dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kinerja, mendorong inovasi, dan mendukung pencapaian sasaran organisasi. Organisasi merupakan kumpulan orang yang memiliki atau menganut beragam budaya atau sikap, baik budaya positif atau budaya negatif. Budaya dapat memengaruhi kinerja pada berbagai tingkat dan tahap. Organisasi harus mampu mengidentifikasi budaya-budaya yang ada dalam organisasi. Budaya negatif dapat menghambat upaya pencapaian tujuan manajemen risiko atau meningkatkan risiko itu sendiri. Oleh karena itu, organisasi harus mampu mengeliminir dan mengevaluasi risiko yang disebabkan faktor budaya negatif. Misalkan, budaya Asal Bapak Senang (ABS) akan membuat suatu organisasi menjadi rapuh dan menurunkan nilai organisasi. Budaya ABS ini masih ditemukan baik pada level staf maupun eksekutif organisasi. Contoh penerapan ABS terjadi pada dunia perbankan pada saat manajemen bank memutuskan secara tidak prudent untuk mengalokasikan kredit ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank mayoritas. Demikian halnya, budaya kolusi dan nepotisme dan budaya tidak kritis dalam suatu organisasi merupakan salah satu penghambat tidak berkembangnya suatu organisasi. Jika organisasi diisi oleh sumber daya manusia yang memiliki budaya atau sikap negatif, maka profesionalisme organisasi akan dikorbankan dan manajemen perusahaan akan keropos karena diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi yang tidak sesuai. Produktivitas tenaga kerja juga akan rendah dan pada akhirnya membebani keuangan organisasi sehingga organisasi tidak efisien dan tidak mampu bersaing. Dampak lebih lanjut dan serius yaitu organisasi mengalami kehilangan kepercayaan publik.
Upaya organisasi untuk mengurangi pengaruh faktor budaya negatif melalui upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif bisa dilakukan melalui seleksi secara ketat dalam proses rekrutmen pegawai baru maupun proses penetapan orang yang akan menduduki jabatan manajemen tertentu. Hanya orang-orang yang memiliki kesamaan visi, pikiran, perasaan dan tanggung jawab yang sejalan dengan organisasi yang akan dipilih. Sementara upaya kuratif dapat dilakukan dengan cara organisasi menetapkan budaya organisasi yang harus disepakati dan dilakukan oleh setiap orang pada organisasi tersebut. Misalnya IPB telah menetapkan tujuh nilai budaya korporat IPB yaitu keunggulan akademik, spiritualisme, gigih, kerjasama, empati, tanggung jawab dan komitmen. Tujuh nilai budaya korporat ini harus dilakukan oleh seluruh sivitas akademika IPB sesuai tugas dan fungsinya dalam organisasi IPB. Dalam pelaksanaan budaya organisasi ini, maka pimpinan sangat berperan sebagai contoh atau teladan.
Budaya organisasi dalam manajemen risiko disebut juga budaya risiko (risk culture). Budaya risiko merupakan perilaku dan persepsi semua elemen organisasi pada setiap tahap dan level organisasi yang berkaitan dengan risiko. Pentingnya budaya risiko karena implementasi manajemen risiko akan berkaitan dengan pelaksanaan tugas sehari-hari. Manajemen puncak atau pimpinan merupakan unsur atau elemen penting yang harus memberi contoh dan memotivasi seluruh elemen lain dalam organisasi. Untuk membangun budaya risiko diperlukan kesamaan dan keterpaduan langkah seluruh elemen organisasi. Beberapa langkah untuk menciptakan budaya risiko, yaitu (1) adanya komitmen pimpinan untuk menerapkan budaya risiko, (2) melakukan edukasi kepada seluruh stakeholder organisasi tentang pentingnya manajemen risiko dan budaya risiko, (3) mengadakan knowledge sharing diantara para elemen organisasi, (4) melakukan komunikasi secara kontinyu dan konsisten tentang pentingnya manajemen risiko dalam keseharian, dan (5) melakukan pendokumentasian prosedur, pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi manajemen risiko yang diikuti dengan sosialisasi kepada para stakeholder. Pembahasan tentang budaya risiko secara lebih mendalam akan dilakukan pada artikel selanjutnya.