Penulis: Prof. D. S. Priyarsono, Ph.D, CERG
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.
If you think about that, you will do things differently.
Warren Buffett
Kutipan dari pernyataan Warren Buffett yang populer itu tidak hanya berlaku untuk perusahaan, namun juga untuk semua jenis organisasi, termasuk institusi seperti perguruan tinggi, bahkan untuk setiap orang. Memang benar, reputasi, yang dalam Bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “nama baik”, harus terus ditingkatkan, dirawat, dan dijaga keberlangsungannya. Seperti kutipan di atas, reputasi dapat lenyap dalam sekejap bila tak dirawat dan dijaga dengan baik. Artinya, selalu ada risiko bahwa reputasi dapat menurun. Bagaimana mengelola risiko reputasi, khususnya dalam konteks perguruan tinggi?
Reputasi sebuah perguruan tinggi dapat tercemar oleh karena perilaku pihak-pihak yang terkait dengan perguruan tinggi itu. Pihak-pihak tersebut bisa sivitas akademika (dosen, mahasiswa, staf administrasi), bisa juga alumninya, baik secara bersama-sama atau pun secara individual, baik secara resmi kelembagaan (misalnya dalam bentuk kebijakan) atau pun tidak secara kelembagaan.
Damage control. Bila sebuah peristiwa risiko (risk event) sudah terjadi, maka yang perlu dilakukan bukan lagi pengelolaan risiko melainkan pengelolaan masalah (problem management) khususnya untuk mengendalikan dampak negatif (damage control). Oleh karena itu, dalam perspektif jangka pendek, semua dampak negatif akibat dari suatu peristiwa tersebut perlu segera dipetakan kemudian diupayakan pengendaliannya.
Ibaratnya, sebuah peristiwa kebakaran sudah terjadi. Untuk jangka yang sangat pendek yang perlu dilakukan adalah meminimumkan akibat buruk dari kebakaran tersebut. Segera padamkan. Upayakan agar dampak buruknya tidak meluas. Pada kurun waktu yang sangat singkat tersebut belum saatnya ada diskusi untuk mencari akar masalahnya.
Penilaian risiko reputasi (reputational risks assessment). Kembali ke persoalan awal, apabila peristiwa risiko belum terjadi atau dengan kata lain untuk perspektif jangka menengah, perlu ada upaya asesmen terhadap risiko-risiko reputasi. Asesmen risiko terdiri atas tiga langkah, yakni identifikasi risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko. Menurut SNI ISO 31000 Manajemen Risiko, identifikasi risiko adalah proses penemuan, pengenalan, dan pendeskripsian risiko. Deskripsi tersebut meliputi sumber risiko, peristiwa kejadian risiko, penyebab, dan potensi konsekuensi dari risiko. Identifikasi risiko dapat melibatkan data historis, analisis teoretis, informasi dari pendapat ahli, serta analisis kebutuhan pemangku kepentingan. Pendaftaran dan deskripsi risiko perlu mengacu pada konteks, ruang lingkup, dan kriteria yang ditetapkan oleh organisasi.
Hasil dari identifikasi risiko yang disebut daftar risiko (risks register) selanjutnya dianalisis, yakni tiap risiko ditelaah sifat-sifatnya dalam rangka penentuan tingkat risiko. Adapun penentuan tingkat risiko didasarkan pada tingkat kemungkinan (probability) terjadinya risiko dan tingkat keparahan (severity) dari dampak atau akibat dari risiko.
Langkah terakhir dalam penilaian risiko adalah evaluasi risiko, yakni proses membandingkan hasil analisis risiko dengan kriteria risiko untuk menentukan apakah suatu risiko dapat diterima (ditoleransi), harus ditolak, atau perlu memperoleh perlakuan tertentu. Dengan kata lain, terhadap tiap risiko tersebut perlu dirancangkan perlakuan risiko yang sesuai dengan selera risiko yang ditetapkan oleh pucuk pimpinan organisasi yang dalam konteks perguruan tinggi adalah Rektor. Selera risiko harus dikomunikasikan secara efektif kepada pemangku kepentingan yang relevan. Sebagai contoh, Rektor perlu menegaskan prinsip zero tolerance terhadap perilaku atau tindakan kekerasan (violence) sivitas akademika baik di dalam maupun di luar kampus.
Pengelolaan perilaku sivitas akademika. Lazimnya sebuah perguruan tinggi mempunyai berbagai pedoman yang mengatur perilaku sivitas akademikanya. Dari waktu ke waktu perlu ada peninjauan (review) atas perumusan dan keefektifan pedoman perilaku (code of conduct) yang mengatur tingkah laku sivitas akademika. Perlu ada penilaian atas keefektifan pengendalian internal yang diterapkan saat ini. Bila dinilai ada kekurangefektifan kendali atas perilaku tersebut, maka perlu diterapkan pengendalian serta disiapkan perlakuan risiko yang relevan.
Perilaku sivitas akademika yang lazim dinilai dapat mengancam reputasi tidak terbatas pada tindak pidana. Hal-hal yang oleh norma masyarakat dinilai kurang pantas dilakukan oleh orang-orang berpendidikan harus pula dijauhkan dari perilaku sivitas akademika.
Pengembangan indikator risiko reputasi utama (key reputational risk indicators). Dalam jangka yang lebih panjang, perlu ada upaya pengembangan indikator risiko reputasi utama. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah mobil terdapat berbagai indikator, misalnya indikator ketersediaan bensin, suhu mesin, jarak tempuh, dan sebagainya. Semuanya terpampang pada dash board. Mirip dengan itu, tingkat kesehatan seseorang juga bisa diketahui secara cepat berdasarkan beberapa indikator, misalnya indeks masa tubuh (berat dibagi tinggi kuadrat), suhu badan, tekanan darah, nafsu makan, frekuensi BAB, dan sebagainya. Ada pun indikator reputasi tidak selalu tersedia dan oleh karena itu perlu dibangun dan dikembangkan. Untuk itu perlu dibangun sistem isyarat dini seperti whistle blowing system, sistem pengaduan, kepekaan terhadap kejadian-kejadian eksternal (misalnya di perguruan tinggi lain, maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya), termasuk emerging risk indicators misalnya demo, pemberitaan di media massa, percakapan di media sosial, dan sebagainya. Sebagai contoh, indikator risiko yang bersifat eksternal misalnya, di perguruan-perguruan tinggi tetangga marak terjadi perkelahian antarmahasiswa. Contoh lain, misalnya perilaku plagiarisme terjadi dan berkembang di mana-mana. Contoh lain lagi, misalnya di perguruan tinggi lain terjadi kekerasan seksual di dalam kampus. Hal-hal tersebut dapat diangkat sebagai indikator awal terancamnya reputasi di suatu kampus.
Pengembangan protokol penanganan krisis. Perlu ada pengembangan protokol yang merinci hal-hal yang perlu dilakukan (apa, siapa, kapan, dan sebagainya) pada saat ada kejadian kritis yang mengarah pada timbulnya risiko reputasional. Salah satu fungsi perlu berperan dalam konteks tersebut adalah public relations.
Risiko reputasi dapat dan bahkan lazim mengancam semua organisasi. Oleh karena itu, sejak dini perlu disiapkan langkah-langkah pengelolaannya. Dalam hal ini instrumen-instrumen manajemen risiko reputasi dipastikan dapat sangat membantu mengurangi terjadinya kejutan-kejutan yang tak menyenangkan (unpleasant surprises).