Artikel

Artikel2021-01-27T19:01:07+07:00

Penasihat Objektif Jadi Pilar Keempat dalam Proyek Enterprise Resource Planning (ERP)

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Selama ini proyek Enterprise Resource Planning (ERP) biasanya melibatkan tiga pihak utama: tim bisnis dan TI perusahaan, system integrator (SI), serta vendor perangkat lunak. Namun, pola ini dinilai belum cukup untuk menjamin keberhasilan transformasi ERP.

Ketergantungan pada tiga pihak saja sering menimbulkan celah, mulai dari strategi bisnis yang tidak selaras dengan implementasi, risiko terjebak vendor tertentu (vendor-lock), hingga miskomunikasi antar mitra. Di sisi lain, tim internal perusahaan kerap terbatas kemampuannya, sementara SI kuat secara teknis namun lemah dalam menyelaraskan proses dengan tujuan bisnis.

Untuk menutup celah tersebut, kehadiran penasihat objektif dianggap penting sebagai “pilar keempat” dalam implementasi ERP. Penasihat ini merupakan pihak independen yang tidak terikat kontrak teknis dan langsung melapor ke jajaran eksekutif. Tugasnya mengawasi jalannya proyek, menjaga fokus pada tujuan bisnis, serta mendeteksi potensi masalah sejak awal.

“Penasihat objektif membantu memastikan proyek ERP tidak hanya sukses secara teknis, tetapi juga benar-benar memberikan nilai bagi bisnis,” kata seorang konsultan teknologi di Jakarta.

Peran penasihat meliputi pengawasan tata kelola, penyelarasan strategi dengan implementasi, penyediaan pandangan independen terhadap risiko, hingga mendukung komunikasi lintas tim dan pelatihan. Mereka juga memastikan hasil proyek sesuai target biaya, waktu, dan manfaat jangka panjang.

Meski keberadaannya bisa menimbulkan risiko tumpang tindih peran dengan SI, hal itu dapat diatasi dengan pembagian tanggung jawab yang jelas dan evaluasi berkala.

Di tengah tren migrasi ke SAP S/4HANA dan semakin kompleksnya integrasi bisnis di lingkungan multi-cloud, peran penasihat objektif dinilai semakin krusial. Selain itu, mereka juga berperan dalam memanfaatkan teknologi baru seperti AI serta membantu perusahaan menghadapi keterbatasan talenta.

Pada akhirnya, migrasi ERP bukan sekadar pergantian software, tetapi transformasi bisnis jangka panjang. Melibatkan penasihat objektif sejak awal diyakini bisa menjadi kunci agar perusahaan meraih manfaat strategis berkelanjutan, bukan sekadar mencapai target go live.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Kearney, dengan judul The Objective Advisor: A Missing Fourth Pillar of ERP Program Success. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Keterlibatan Masyarakat: Investasi Sosial yang Menguatkan Reputasi Perusahaan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Reputasi adalah aset penting bagi perusahaan. Dari sinilah muncul kepercayaan publik, loyalitas pelanggan, sampai keputusan investor. Salah satu cara membangun reputasi yang kuat adalah lewat keterlibatan masyarakat—keterlibatan perusahaan dengan masyarakat secara nyata.

Namun, bagaimana memastikan bahwa kegiatan ini benar-benar berdampak pada reputasi? Jawabannya ada pada pengukuran yang terstruktur dan relevan.

Hubungan Keterlibatan Masyarakat dan Reputasi

Program yang konsisten dan melibatkan masyarakat bisa:

  • Meningkatkan kepercayaan publik. 
  • Memperluas penerimaan sosial (social license to operate). 
  • Memperkuat citra perusahaan lewat interaksi yang nyata, bukan sekadar komunikasi formal. 

Dengan kata lain, reputasi yang baik lahir dari relasi sosial yang otentik.

Indikator untuk Mengukur Dampak

Ada beberapa cara untuk menilai apakah program engagement berpengaruh terhadap reputasi perusahaan, di antaranya:

  • Survei persepsi publik: mengukur kepercayaan dan dukungan masyarakat sebelum dan sesudah program. 
  • Social Return on Investment (SROI): menghitung nilai sosial dan ekonomi dari investasi sosial perusahaan. 
  • Analisis media dan sentimen publik: melihat bagaimana media dan masyarakat menilai kegiatan perusahaan. 
  • Tingkat partisipasi komunitas: apakah masyarakat benar-benar terlibat dan merasakan dampaknya. 
  • Indeks reputasi atau trust index: jika tersedia, bisa digunakan untuk mengukur perubahan persepsi stakeholder. 

Alat yang Bisa Digunakan

Beberapa metode pendukung yang umum dipakai:

  • Net Promoter Score (NPS) versi komunitas → mengukur seberapa besar kemungkinan masyarakat merekomendasikan perusahaan. 
  • ESG rating tools dengan fokus pada indikator sosial. 
  • Media monitoring tools untuk memantau tren berita dan sentimen publik. 
  • Wawancara untuk menggali pemahaman kualitatif. 

Dengan data dan indikator yang jelas, perusahaan bisa membuktikan manfaat program sosialnya sekaligus memperkuat reputasi jangka panjang yang dibangun atas dasar kepercayaan dan keterlibatan masyarakat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh CRMS, dengan judul Bagaimana Mengukur Dampak Community Engagement terhadap Reputasi Perusahaan. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Strategi Transfer Risiko: Cara Bank Perkuat Neraca dan Pendapatan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dulu, transfer risiko kredit hanya dianggap cara melepas aset non-inti. Sekarang, perannya jauh lebih besar. Didukung aturan baru, pengawasan ketat, dan meningkatnya permintaan pasar, transfer risiko berkembang jadi strategi penting untuk efisiensi modal sekaligus sumber pendapatan tambahan.

Sejak 2016, volume sekuritisasi aset sintetis—metode utama transfer risiko—melonjak hingga $1,1 triliun, dengan Eropa sebagai penyumbang terbesar. Kalau dulu sekuritisasi identik dengan krisis 2008, kini pasar lebih sehat karena aset berisiko tinggi dan utang berlebihan sudah disingkirkan.

Basel IV, aturan internasional yang mengatur permodalan bank, mendorong lembaga keuangan mencari cara menekan aset tertimbang risiko. Salah satunya lewat sekuritisasi. Bank Sentral Eropa (ECB, European Central Bank) juga mendukung karena dinilai bisa memperdalam pasar modal dan memperkuat ekonomi.

Manfaat Transfer Risiko

Transfer risiko tumbuh cepat karena:

  • Bank ingin meringankan neraca, 
  • Investor (misalnya dana utang swasta) mencari peluang eksposur kredit. 

Contoh nyata: Desember 2024, International Finance Corporation (IFC) bermitra dengan Banco Santander Chile dan PGGM (dana pensiun asal Belanda) dalam kesepakatan $1 miliar untuk memperluas akses kredit pemilikan rumah (KPR) bagi perempuan di Chili.

  • IFC memberi perlindungan kredit $800 juta, 
  • PGGM menanggung kerugian pertama, 
  • IFC tetap memegang risiko senior. 

Semua pihak untung: bank bisa menyalurkan kredit ke segmen kurang terlayani, PGGM mendapat diversifikasi, IFC jalankan misinya mendukung negara berkembang.

Instrumen yang Dipakai

  • Sekuritisasi tunai – menjual pinjaman ke Special Purpose Vehicle (SPV) untuk dapat likuiditas. 
  • Sekuritisasi sintetis – mengalihkan risiko tanpa pindah kepemilikan, lebih fleksibel. 
  • Asuransi risiko kredit – perlindungan lewat perusahaan asuransi dengan premi. 
  • Forward flow agreement – perjanjian penjualan dan/atau pembelian aset secara bertahap di masa depan. 
  • Hybrid structure – gabungan berbagai instrumen investasi. 

Fondasi Agar Berkelanjutan

Agar efektif, bank perlu:

  • Data berkualitas untuk analisis neraca dan transparansi. 
  • Analitik & simulasi untuk memprediksi dampak terhadap modal dan likuiditas. 
  • Uji ketahanan & otomatisasi untuk memenuhi Significant Risk Transfer (SRT), standar regulator agar pengalihan risiko sah. 
  • Tata kelola jelas dengan peran dan proses terstruktur. 
  • Hubungan investor solid lewat komunikasi rutin dan kolaborasi dengan dana swasta atau dana kekayaan negara. 
  • Manajemen risiko kuat dengan selera risiko yang jelas dan dukungan regulator. 

Transfer risiko kini jadi strategi inti bank modern. Bukan sekadar alat teknis, melainkan cara memperkuat neraca, memperluas akses kredit, dan mendukung pembiayaan ekonomi yang berkelanjutan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh McKinsey, dengan judul Risk Transfer: A Growing Strategic Imperative for Banks. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Kegagalan Rantai Pasokan: Dari Krisis Global hingga Strategi Mitigasi

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Gangguan rantai pasokan kini menjadi salah satu risiko global paling signifikan. Mulai dari bencana alam, ketegangan geopolitik, ancaman siber, hingga ketergantungan pada pemasok tunggal, semuanya dapat mengganggu jalannya bisnis. Di tengah era volatilitas ini, ketahanan, transparansi, dan adaptabilitas bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan utama bagi keberlangsungan dan daya saing perusahaan.

Dari Efisiensi ke Ketahanan

Sejak 2021, kegagalan rantai pasok semakin mencuat akibat pandemi, konflik geopolitik, cuaca ekstrem, serta perubahan kebijakan perdagangan. Sebelumnya, perusahaan banyak mengandalkan model yang menekankan efisiensi: produksi tersebar, inventaris minimal, serta sistem just-in-time. Namun, strategi ini terbukti rentan. Efisiensi tanpa cadangan menciptakan kerentanan yang saling terkait, sehingga satu gangguan kecil dapat memicu efek domino di seluruh jaringan distribusi global.

Faktor Pemicu Kegagalan Rantai Pasokan

Beberapa penyebab utama yang kerap mengguncang rantai pasokan global antara lain:

  • Cuaca Ekstrem & Bencana Alam
    Banjir, topan, kekeringan, hingga kebakaran hutan dapat melumpuhkan jalur perdagangan. Kekeringan di Terusan Panama pada 2024, misalnya, menghambat pergerakan kapal logistik dunia. 
  • Runtuhnya Infrastruktur
    Kerusakan pada pelabuhan, jembatan, atau jalur pelayaran (seperti di Laut Merah) mengakibatkan kekurangan pasokan, lonjakan biaya logistik, bahkan memicu inflasi. 
  • Kekurangan Bahan & Pemogokan
    Kelangkaan komoditas penting seperti kobalt, litium, dan nikel berdampak langsung pada industri baterai dan semikonduktor. Pemogokan pekerja pelabuhan atau kereta api juga memperparah keterlambatan distribusi. 
  • Risiko Baru yang Muncul Cepat
    Perang dagang, tarif impor, kebangkrutan perusahaan logistik, serangan siber, hingga isu ESG seperti perbudakan modern menambah kompleksitas risiko. 
  • Ketergantungan pada Pemasok Tunggal
    Gangguan pada pemasok niche bisa berimbas besar. Contohnya, tambang kuarsa di Carolina Utara yang vital bagi industri semikonduktor menjadi titik rawan yang bisa mengguncang pasar global. 

Strategi Mitigasi: Dari Profiling hingga Kolaborasi

Agar tidak terjebak dalam siklus krisis berulang, perusahaan perlu mengubah pendekatan mereka terhadap manajemen rantai pasok. Beberapa langkah kunci yang bisa diterapkan antara lain:

  1. Transparansi & Visibilitas
    Menggunakan analitik canggih dan intelijen prediktif untuk mendeteksi gangguan secara real-time. 
  2. Kuantifikasi Risiko Keuangan
    Mengembangkan model berbasis data untuk memprediksi potensi kerugian, memprioritaskan kontrak pelanggan strategis, dan menentukan investasi mitigasi. 
  3. Efisiensi vs Ketahanan
    Menyeimbangkan efisiensi dengan diversifikasi pemasok, rekayasa ulang jalur distribusi, serta penerapan teknologi adaptif. 
  4. Inovasi & Tenaga Kerja
    Melatih sumber daya manusia dalam bidang AI, data, otomatisasi, dan manajemen risiko strategis. 
  5. Kolaborasi Lintas Fungsi
    Menghapus sekat antar divisi, berbagi data, dan memperkuat koordinasi untuk respons yang lebih cepat dan terintegrasi. 

Di tengah ketidakpastian global, perusahaan harus bertransformasi dari sekadar mengejar efisiensi menjadi membangun ketahanan. Rantai pasokan yang tangguh bukan hanya mengurangi kerugian saat krisis, tetapi juga menciptakan nilai jangka panjang dan menjaga keberlanjutan bisnis.

Artikel ini telah diterbitkan oleh AON dengan judul Supply Chain or Distribution Failure: Navigating the New Normal. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengapa Keuangan Perilaku Penting bagi Manajer Risiko?

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Di balik pergerakan angka-angka pasar, ada faktor lain yang sering kali menentukan arah investasi: emosi manusia. Inilah yang dipelajari dalam keuangan perilaku, sebuah bidang yang menggabungkan psikologi kognitif dengan teori keuangan untuk memahami bagaimana persepsi dan bias memengaruhi keputusan investor.

Konsep ini mulai dikenal sejak George Seldon menulis tentang psikologi pasar pada 1912, lalu berkembang pesat berkat riset Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1979) serta teori “akuntansi mental” Richard Thaler (1980).

Mengapa penting bagi manajer risiko?

Bagi manajer risiko, keuangan perilaku bukan sekadar teori akademis. Pemahaman ini berguna untuk:

  • Mengidentifikasi bias psikologis yang membuat investor bertindak irasional. 
  • Membantu klien mengambil keputusan keuangan yang lebih bijak. 
  • Menambah perspektif dalam membaca dinamika pasar. 
  • Menjelaskan mengapa pasar terkadang tampak seperti “kasino raksasa” akibat dominasi keputusan emosional. 

Dengan kata lain, keuangan perilaku memperkaya analisis risiko sekaligus meningkatkan strategi pengelolaan keuangan.

Lima bias umum dalam keuangan perilaku

Saat emosi mengambil alih, investor kerap membuat keputusan yang tidak rasional. Berikut lima bias yang paling sering ditemui:

  1. Keengganan terhadap kerugian – Rasa takut rugi lebih besar daripada keinginan untung, sehingga investor cenderung menahan aset merugi terlalu lama atau mengambil risiko berlebihan. 
  2. Bias keakraban – Hanya memilih investasi yang sudah dikenal, meski kurang menguntungkan, sehingga portofolio tidak terdiversifikasi. 
  3. Naluri kawanan – Mengikuti langkah mayoritas tanpa analisis, yang bisa memicu gelembung harga atau bahkan krisis. 
  4. Terlalu percaya diri – Melebih-lebihkan kemampuan sendiri, sehingga melakukan transaksi berlebihan dan menurunkan hasil investasi. 
  5. Bias status quo – Enggan mengubah portofolio meski kondisi pasar berubah, membuat investor tidak siap menghadapi risiko baru. 

Bagi perencana keuangan, analis, dan manajer risiko, memahami keuangan perilaku berarti mampu mengenali bias klien sekaligus dinamika pasar yang digerakkan emosi. Dengan itu, mereka dapat memberikan nasihat yang lebih bernilai, memperkuat strategi pengelolaan risiko, dan menjaga posisi profesional di industri keuangan yang semakin kompleks.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Why is Behavioral Finance Important to Risk Managers?

By |

Empat Kunci Kepatuhan Modern di Tengah Kompleksitas Risiko

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dunia kepatuhan sedang menghadapi tantangan baru. Regulasi yang terus berubah, dinamika geopolitik, hingga pemanfaatan teknologi seperti artificial intelligence (AI) membuat lanskap risiko makin rumit. Situasi ini menuntut fungsi kepatuhan tidak hanya bertugas sebagai “penjaga gerbang,” tapi juga mampu menunjukkan nilai strategisnya bagi bisnis.

Para pakar menilai, ada empat kapabilitas utama yang bisa menjadi kunci sukses kepatuhan modern:

  1. Selera risiko yang operasional, bukan sekadar teori
    Banyak perusahaan masih punya sikap risiko yang tidak jelas. Dengan pedoman hingga kartu skor risiko yang terdokumentasi, toleransi risiko bisa dikomunikasikan dengan gamblang. Hasilnya: keputusan hukum dan bisnis jadi lebih konsisten, tidak terlalu konservatif, dan tetap sejalan dengan tujuan perusahaan. 
  2. Standar kepatuhan yang mudah dipahami karyawan
    Kewajiban kepatuhan yang menumpuk sering bikin bingung. Di sinilah pentingnya standar mutu yang sederhana tapi jelas. Pedoman dan prinsip terdokumentasi memastikan aturan dijalankan konsisten, sementara evaluasi terstruktur membantu perusahaan tahu mana kebijakan yang efektif dan mana yang perlu diperbaiki. 
  3. Tata kelola data yang lintas fungsi
    Kewajiban pelaporan baru kini semakin beragam, mulai dari keamanan siber, ESG (Environmental, Social, and Governance) yang mencakup isu lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola perusahaan, hingga perkembangan AI. Semua laporan ini hanya bisa dipenuhi bila perusahaan memiliki data yang akurat, konsisten, dan dapat dipertanggungjawabkan.
  1. Manajemen risiko strategis untuk mendukung pertumbuhan
    Saat perusahaan melakukan ekspansi, akuisisi, atau investasi besar, risiko tak bisa dihindari. Manajemen risiko strategis hadir untuk menjaga keberanian mengambil peluang sambil tetap terkendali. Fokusnya ada pada koordinasi lintas fungsi, keselarasan dengan selera risiko, dan fleksibilitas untuk menyesuaikan strategi ketika situasi berubah. 

Kesimpulannya, kepatuhan modern bukan lagi sekadar soal menghindari pelanggaran. Dengan empat kapabilitas ini, kepatuhan bisa menjadi mitra strategis bisnis: membantu pengambilan keputusan lebih tajam, menavigasi regulasi yang rumit, dan mendukung pertumbuhan jangka panjang.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Gartner, dengan judul Navigate Compliance Risks With These Key Capabilities. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Menyeimbangkan Biaya dan Kemampuan Bertahan: Tantangan Baru Rantai Pasok

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Selama bertahun-tahun, perusahaan mengelola rantai pasok global dengan asumsi bahwa efisiensi biaya adalah kunci daya saing. Namun, lima tahun terakhir membuktikan bahwa fokus pada biaya saja tidak cukup. Kini, perusahaan dituntut membangun rantai pasok yang tahan banting sekaligus efisien secara finansial.

Dari “Cost is King” ke “Cost of Resilience”

Dulu, strategi umum adalah memusatkan produksi di negara berbiaya rendah untuk mengejar skala besar dan efisiensi. Pandemi COVID-19 membuka kelemahan pola ini: ketika pabrik tutup, arus barang terhenti, harga melonjak, dan pangsa pasar hilang.

Setelah itu, banyak perusahaan beralih ke prinsip “resilience at all costs” dengan memindahkan sebagian produksi lebih dekat ke pasar, menambah persediaan, dan membuat rantai pasok lebih menyebar. Namun, cara ini terbukti mahal dan tidak berkelanjutan.

Kini, muncul pendekatan baru: “cost of resilience”, yaitu menyeimbangkan efisiensi biaya dengan kemampuan beradaptasi menghadapi disrupsi tanpa menggerus margin atau pangsa pasar.

Empat Megatren yang Membentuk Rantai Pasok Baru

Geopolitik dan Economic Statecraft (Diplomasi Internasional melalui kekuatan ekonomi) – Persaingan antarnegara memengaruhi arus barang dan investasi.

Risiko iklim – Bencana alam, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut menambah kerentanan.

Keterbatasan tenaga kerja manufaktur – Persaingan mendapatkan tenaga kerja terampil semakin ketat.

Adopsi robotika canggih – Otomasi membantu mengatasi biaya tenaga kerja dan risiko disrupsi.

Strategi Perusahaan

Untuk menghadapi tantangan ini, banyak perusahaan tidak lagi mengandalkan satu rantai pasok global, melainkan:

  • Membangun rantai pasok regional atau lokal agar lebih dekat ke pasar. 
  • Diversifikasi pemasok dengan sumber ganda (dual sourcing) dan cadangan tambahan. 
  • Menggunakan supply chain broker yang memiliki jaringan global fleksibel. 
  • Berbagi kapasitas produksi melalui kontrak manufaktur atau joint venture untuk mengurangi biaya dan risiko. 

Langkah yang Perlu Dilakukan Pemimpin Bisnis

Agar rantai pasok lebih tangguh sekaligus efisien, pemimpin perusahaan perlu:

  • Meningkatkan transparansi ujung-ke-ujung pada rantai pasok. 
  • Memperkuat manajemen risiko geopolitik, iklim, tenaga kerja, dan teknologi. 
  • Memasukkan otomasi dalam desain jaringan produksi. 
  • Mengintegrasikan risiko iklim dalam perencanaan rantai pasok. 
  • Menjadikan tenaga kerja sebagai faktor utama dalam keputusan lokasi produksi. 
  • Mengukur total procurement value, bukan hanya biaya, tapi juga ketahanan dan keberlanjutan.

Era perdagangan bebas yang relatif lancar sudah berubah menjadi era ketidakpastian. Perusahaan yang mampu menyeimbangkan biaya dengan ketahanan akan lebih siap melindungi margin dan merebut peluang pasar di tengah perubahan global yang cepat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh BCG, dengan judul Balancing Cost and Resilience: The New Supply Chain Challenge. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Ancaman Pencurian Kargo dan Strategi Mitigasinya

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Kasus pencurian kargo terus mengalami peningkatan dengan metode yang semakin canggih. Jaringan kriminal terorganisir kini memanfaatkan dokumen palsu, rekayasa sosial, hingga serangan siber untuk mengeksploitasi celah keamanan fisik maupun digital. Satu kelemahan saja dapat dimanfaatkan berkali-kali hingga menimbulkan kerugian yang signifikan.

Dampak pencurian ini tidak hanya merugikan perusahaan transportasi secara langsung, tetapi juga mendorong kenaikan premi asuransi. Hal ini semakin menekan industri logistik yang umumnya beroperasi dengan margin keuntungan yang tipis.

Bentuk Pencurian Kargo

  • Straight theft: pencurian langsung dari lokasi seperti rest area atau parkiran truk.

  • Pilferage: pencurian dalam skala kecil yang bersifat oportunistik.

  • Fraudulent dan cyber theft: bentuk paling berbahaya karena dilakukan secara sistematis dengan penipuan digital dan infiltrasi organisasi.

Metode terakhir inilah yang menjadi pendorong utama meningkatnya kasus pencurian kargo secara global.

Lima Strategi Mitigasi

  1. Pemanfaatan teknologi keamanan – menerapkan verifikasi identitas digital, enkripsi, autentikasi multi-faktor, serta penggunaan AI dan blockchain.
  2. Proses verifikasi mitra yang ketat – memastikan keaslian dokumen, identitas pengemudi, perusahaan, serta peralatan angkut secara real time.
  3. Pemantauan berbasis GPS – penggunaan pelacak, alarm, dan segel antirusak dengan pemantauan berkelanjutan.
  4. Pelatihan karyawan dan pembaruan rutin – meningkatkan kesadaran terhadap ancaman terbaru melalui edukasi, audit, dan forum berbagi informasi.
  5. Perlindungan asuransi yang komprehensif – mencakup nilai kargo serta biaya tambahan seperti pemulihan dan gangguan operasional.

Meskipun memerlukan biaya tambahan, strategi mitigasi yang proaktif memberikan manfaat jangka panjang berupa peningkatan keamanan, ketahanan operasional, serta kepercayaan dari pasar dan penyedia asuransi.

Dengan ancaman yang terus berkembang, industri transportasi perlu membangun kerangka manajemen risiko yang kuat dan berlapis. Pendekatan ini memastikan keberlanjutan usaha di tengah regulasi lingkungan yang semakin ketat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh AON, dengan judul The Evolving Threat of Cargo Theft: 5 Key Mitigation Strategies. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Strategi Bertahan Menghadapi Risiko di Era Ketidakpastian

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Pandemi, perang, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi membuat risiko semakin sulit ditebak. Digitalisasi, transisi energi, hingga ketergantungan rantai pasok juga menambah kompleksitas. 

Lembaga keuangan menjadi salah satu sektor yang paling rentan. Alasannya sederhana: sektor ini sangat penting bagi perekonomian, tapi sekaligus sangat sensitif terhadap guncangan. Masalahnya, risiko-risiko baru sering kali tidak bisa diprediksi atau ditangkap dengan model konvensional. Karena itu, identifikasi dan penilaian sejak dini menjadi kunci untuk menjaga ketahanan.

  1. Manajemen Risiko Harus Gesit dan Berwawasan ke Depan

Risiko di era sekarang tidak berdiri sendiri. Mereka saling berkaitan, bahkan bisa memicu satu sama lain. Perang Rusia-Ukraina misalnya, bukan hanya masalah geopolitik, tetapi berdampak pada energi, pangan, hingga inflasi global.

Karena itu, manajemen risiko tidak cukup hanya untuk mencegah kerugian. Ia juga harus bisa melihat peluang, mendeteksi dampak negatif lebih awal, dan menyiapkan langkah antisipasi.

  1. Bank Membutuhkan Emerging Risk Manager

Ada dua pertanyaan penting dalam manajemen risiko proaktif:

  1. Apa yang sedang berubah di dunia? 
  2. Apa dampaknya bagi bisnis dan model operasional kita? 

Untuk menjawabnya, bank membutuhkan peran baru yang disebut Emerging Risk Manager. Sosok ini yang memahami bisnis, operasi, dan risiko, serta mampu menghubungkan informasi dari berbagai sumber. Tugasnya: menyusun gambaran ancaman yang jelas dan memberi rekomendasi strategis.

Peran ini juga erat kaitannya dengan penggunaan data, skenario, dan stress testing. Misalnya, ketergantungan Eropa pada penyedia cloud asal Amerika menjadi risiko konsentrasi. Emerging Risk Manager harus bisa melihat masalah ini lebih awal dan mendorong strategi seperti investasi pada penyedia lokal.

  1. Risiko Baru adalah Masalah Budaya

Menghadapi risiko yang sulit diprediksi, risiko yang jelas tapi diabaikan, atau risiko yang nyata tapi dihindari, membutuhkan perubahan budaya.

Budaya risiko yang sehat ditandai dengan:

  • Cara kerja yang tangkas dan keputusan cepat. 
  • Aliran informasi yang terbuka. 
  • Diskusi risiko rutin dan transparan. 
  • Pemimpin yang memberi contoh dengan membicarakan risiko secara jujur. 
  • Inovasi dan disrupsi sebagai pemicu kesadaran risiko. 
  • Insentif bagi mereka yang proaktif mendeteksi risiko. 

Singkatnya, manajemen risiko bukan hanya soal sistem dan prosedur, tapi juga soal pola pikir organisasi.

  1. Badan Pengawas Harus Lebih Proaktif

Di tengah ketidakpastian, badan pengawas tidak bisa hanya pasif menerima laporan. Mereka perlu menjadi penggerak budaya risiko dengan cara:

  • Lebih sering meminta pembaruan risiko yang berbasis situasi. 
  • Mengajukan pertanyaan tajam, khususnya soal risiko non-finansial. 
  • Membuka ruang diskusi, termasuk terkait budaya dan penanganan kesalahan. 
  • Menjadi mitra strategis bagi manajemen, bukan sekadar pengawas formalitas. 

Risiko yang muncul tidak bisa lagi dihadapi dengan cara lama. Dunia bergerak terlalu cepat, dan risiko yang satu bisa dengan mudah memicu risiko lain.

Manajemen risiko yang efektif membutuhkan kecepatan, pandangan jauh ke depan, serta budaya organisasi yang terbuka terhadap diskusi dan inovasi. Ditambah dengan peran baru Emerging Risk Manager dan badan pengawas yang proaktif, bank dan lembaga keuangan bisa lebih siap menghadapi masa sulit yang penuh ketidakpastian.

Artikel ini telah diterbitkan oleh KPMG, dengan judul Emerging Risks: Risk Management in Turbulent Times. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Peran Asuransi dalam Mengurangi Risiko dan Mendorong Ketahanan Iklim

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

London Climate Action Week 2025 menandai pergeseran penting dalam pembahasan iklim: dari sekadar merancang solusi menuju tahap implementasi nyata. Optimisme terlihat jelas meski tantangan iklim dan kebijakan global masih menghantui.

Adaptasi dan Pembiayaan Transisi

Dalam diskusi yang melibatkan pemerintah, sektor asuransi, manajemen aset, dan perbankan, muncul kesadaran bahwa asuransi memiliki peran strategis dalam mempercepat pembiayaan transisi energi dan adaptasi iklim. Dengan mengurangi risiko investasi, asuransi dapat membuka akses pendanaan bagi proyek-proyek ramah lingkungan, termasuk model bisnis dan teknologi baru.

Nilai Solusi Berbasis Alam

Solusi berbasis alam seperti hutan mangrove atau taman kota mulai diukur manfaat ekonominya. Integrasi ke dalam model bencana memungkinkan perhitungan potensi pengurangan risiko, yang bisa berdampak pada premi lebih rendah dan akses perlindungan yang lebih luas, terutama di wilayah rentan.

Tantangan di Pasar Maju dan Berkembang

  • Pasar maju: Menghadapi tantangan ketersediaan dan keterjangkauan asuransi akibat meningkatnya risiko cuaca ekstrem.

  • Pasar berkembang: Selain risiko tinggi, tingkat penetrasi asuransi masih rendah. Produk yang relevan dengan kebutuhan lokal menjadi kunci untuk menutup kesenjangan perlindungan.

Tiga Strategi Kunci Sektor Asuransi

  1. Memperluas skema pool reasuransi untuk mencakup risiko cuaca ekstrem seperti banjir dan kebakaran hutan.
  2. Mendukung ketahanan wilayah rentan agar tetap menarik bagi investasi global.
  3. Mengembangkan mikroasuransi seperti model parametric insurance untuk petani kecil dan pelaku usaha mikro.

Menuju COP30 di Belém

Diskusi di London juga menatap peluang besar di Conference of the Parties ke-30. COP30,  pertemuan tahunan PBB yang membahas perubahan iklim, diharapkan menjadi tonggak penting dalam kebijakan ketahanan iklim global. Peran asuransi di sini jelas: menjadi katalis “diam-diam” yang membantu dunia bergerak dari wacana ke aksi nyata.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Marsh, dengan judul The Quiet Catalyst: How Insurance Can Help De-risk and Implement Climate Resilience. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |
Go to Top